Kampus Budi Bakti

Membangun Kembali Jiwa Islam Indonesia: Dari Kolonialisme ke Peradaban Baru

Membangun Kembali Jiwa Islam Indonesia: Dari Kolonialisme ke Peradaban Baru

Yudi Latief, M.A., Ph.D

Kita perlu mengingat sejarah sekolah untuk masyarakat dengan status tertentu pada zaman kolonial. Kala itu, pendidikan diklasifikasi berdasarkan status sosial. Ada sekolah untuk elite pribumi, dan ada pula sekolah untuk rakyat biasa. Pengelompokan ini menyebabkan ketimpangan sosial, di mana sebagian merasa minder, sementara yang lain merasa lebih unggul. Ki Hadjar Dewantara pernah mengatakan, “Daripada manusia keliru memahami dirinya, lebih baik bebaskan manusia dari pendidikan yang salah arah.”

Pendidikan memiliki dua sisi. Di satu sisi, pendidikan adalah institusi yang paling mampu mengangkat harkat manusia dan membangun peradaban. Di sisi lain, pendidikan juga dapat menjatuhkan, mengkategorisasi, dan mendiskriminasi. Maka, kita harus bertanya, apakah pendidikan yang kita kembangkan selama ini mampu meningkatkan potensi manusia atau justru membunuhnya?

Tantangan Pendidikan Menuju 2045

Tahun 2045 diproyeksikan sebagai era kebangkitan Islam, di mana umat Islam menjadi komunitas terbesar di dunia, termasuk di Indonesia. Namun, tantangan besar yang dihadapi adalah mutu sumber daya manusia (SDM) yang masih rendah. Dalam banyak kasus, potensi besar ini justru tertinggal dibandingkan peradaban lain, seperti Confucianism di Asia Timur atau Hindu di India, yang menunjukkan inovasi luar biasa.

Indonesia memiliki potensi luar biasa dari segi geografi, sumber daya alam, dan demografi. Negara ini kaya akan keanekaragaman hayati, mineral, dan lokasi strategis di antara benua serta samudra. Namun, ironi terjadi ketika 80% penerimaan negara masih bergantung pada sumber daya alam, sementara kontribusi sektor manufaktur dan teknologi masih minim.

Peninggalan peradaban tinggi di Indonesia, seperti Borobudur dan Prambanan, mencerminkan kejayaan Hindu-Buddha. Namun, apa yang menjadi representasi peradaban Islam di Indonesia? Salah satu pencapaian besar Islam di Indonesia adalah simbol Masjid Istiqlal, yang juga mencerminkan perlawanan terhadap kolonialisme.

Islam sebagai Penggerak Peradaban

Untuk mencapai kejayaan peradaban, kita harus belajar dari sejarah Islam yang pernah mencapai puncaknya melalui jiwa kosmopolitan. Pada masa itu, Islam menjadi pusat ilmu pengetahuan, memadukan filsafat Yunani, angka nol dari India, teknologi dari Cina, dan arsitektur Romawi. Islam mengembangkan lembaga seperti Baitul Hikmah, yang melibatkan intelektual dari berbagai latar belakang agama dan budaya.

Ki Hadjar Dewantara menawarkan prinsip Tripod Pendidikan:

  1. Kontinuitas – Merawat tradisi dan budaya kita agar tetap terhubung dengan akar sejarah.
  2. Konvergensi – Mengintegrasikan elemen-elemen baru, seperti teknologi dan inovasi, untuk memperkuat tradisi.
  3. Kesenyawaan – Mengharmonisasikan tradisi dengan capaian modern untuk melahirkan inovasi dan kemajuan.

Islam yang dahulu kosmopolitan dan percaya diri kini membutuhkan proyek besar untuk membangun kembali peradaban. Islam di Indonesia harus menjadi engine of change, bukan hanya dalam perlawanan terhadap ketidakadilan, tetapi juga dalam inovasi dan pembangunan berkelanjutan.

Tantangan dan Harapan

Muhammadiyah, misalnya, adalah lembaga keislaman yang telah mengembangkan banyak sekolah. Namun, berapa banyak di antaranya yang berstatus unggulan? Ini menjadi refleksi bahwa kita membutuhkan Islam baru – Islam yang bukan hanya defensif, tetapi proaktif dalam menciptakan peradaban yang unggul.

Semangat ini tidak hanya untuk menghadapi tantangan lokal, tetapi juga global. Indonesia harus membangun Islam yang inklusif, inovatif, dan kosmopolitan. Dengan demikian, kita tidak hanya menjadi umat mayoritas, tetapi juga berkontribusi pada peradaban dunia yang lebih adil, berdaya saing, dan berkelanjutan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Scroll to Top