Aza El Munadiyan (Dosen Budi Bakti School of Management)
Pandemi Covid-19 membuat banyak keuangan keluarga bergejolak. Ada yang dikurangi gaji, dirumahkan sementara, kontrak tak diperpanjang dan banyak yang di PHK. Akibatnya banyak keluarga yg merelakan menjual aset investasinya. Kondisi ini tak terduga seperti covid ini harus jd pelajaran kita untuk mengatur keuangan keluarga. Salah satunya, kalau minjam bahasa keren di ekonomi itu disebut likuiditas.
Likuiditas mengacu pada kemudahan dan kecepatan aset dapat dikonversi menjadi uang tunai (tanpa
kerugian nilai yang signifikan). Aset lancar adalah yang paling likuid dan termasuk uang tunai dan aset yang bisa berubah cepat menjadi uang tunai. Bisa seperti deposito, emas.
Aset tetap adalah jenis aset yang paling tidak likuid. Aset tetap berwujud meliputi properti, mobil, pabrik. Aset ini tidak diubah menjadi uang tunai dalam waktu singkat, butuh proses. Kalaupun ingin cepat laku biasanya di jual dibawah harga pasar. Aset tetap inilah yg seringkali dipergunakam untuk kebutusan mendesak darurat dan alokasi dananya besar.
Nah, kira-kita kalau dalam keluarga bagaimana membagi porsi aset aset ini?
Aset likuid sering kali memiliki tingkat pengembalian yang lebih rendah daripada aset tetap. Aset likuid juga membuat efek psikologis pendorong banyak orabg untuk konsumtif.
Kesalahan banyak orang, mengalokasi aset likuid yang besar sehingga mengorbankan peluang
untuk berinvestasi dalam sarana investasi yang lebih menguntungkan. Lalu kira-kira berapa alokasi ideal untuk investasi aset tetap dan porsi aset likuid agar tetap sehat keuangan keluarga?
Secara ukuran baku nggak ada sih besaranya berapa. Tapi kalau kita pakai model credit scoring dimana menempatkan biaya pendidikan sebesar 30 % sebagai investasi masa depan. Maka minimal besaran aset tetap sebagai investasi kita ya 30% dari pendapatan rutin kita. Persentase berbeda kalau dalam ruang harta kekayaan. Aset tetap kita minimal 70 persen dan 30 % aset likuid. Yuuk kelola aset kita dengan baik.