PPN Naik 12%, Dampaknya untuk Konsumsi, Ekonomi, dan Dunia Usaha
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang direncanakan berlaku pada tahun 2025 telah menjadi perdebatan panas di berbagai kalangan.
Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dengan tujuan meningkatkan kapasitas fiskal untuk menghadapi tantangan ekonomi global dan domestik.
Namun, kebijakan ini juga menimbulkan kekhawatiran besar terkait dampaknya terhadap konsumsi masyarakat, dunia usaha, dan ketimpangan sosial.
Dampak Kenaikan Pajak pada Konsumsi dan Ekonomi
Konsumsi rumah tangga menyumbang 59?ri Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan konsumsi rumah tangga pascapandemi tercatat sebesar 4,9%, masih lebih rendah dibandingkan tingkat sebelum pandemi yang mencapai 5%.
Kenaikan PPN berpotensi menekan daya beli masyarakat, terutama bagi kelompok menengah ke bawah, yang akhirnya berimbas pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sebagai perbandingan, Jepang yang menaikkan PPN dari 8% menjadi 10% pada tahun 2019 mengalami penurunan konsumsi domestik sebesar 7,4% pada kuartal pertama setelah kebijakan tersebut diterapkan.
Ini menunjukkan bahwa kenaikan PPN memiliki risiko langsung terhadap kontraksi konsumsi, terutama di tengah tekanan inflasi global.
Dampak PPN 12% Terhadap Dunia Usaha
Dunia usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang mempekerjakan lebih dari 97% tenaga kerja Indonesia, menghadapi risiko besar dari kebijakan ini.
Biaya tambahan akibat kenaikan tarif PPN dapat memengaruhi profitabilitas, terutama di sektor makanan dan ritel.
Dalam skenario terburuk, penurunan permintaan dapat memicu gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Di sisi lain, negara-negara seperti Singapura memberikan contoh pendekatan yang lebih adaptif. Ketika Singapura menaikkan Goods and Services Tax (GST) dari 7% menjadi 8% pada 2023, pemerintah memberikan subsidi langsung kepada UMKM dan bantuan uang tunai kepada warga untuk memitigasi dampaknya.
Pendekatan ini dapat menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia untuk mendukung UMKM agar tetap bertahan di tengah tekanan kebijakan fiskal.
Risiko Ketimpangan Sosial
Rumah tangga kelas menengah yang menjadi penggerak utama konsumsi berada dalam posisi rentan. Tidak adanya perlindungan sosial yang memadai bagi kelompok ini dapat memperburuk ketimpangan sosial.
Laporan OECD menunjukkan bahwa kenaikan pajak tidak langsung seperti PPN cenderung lebih membebani kelompok menengah dan berpenghasilan rendah, kecuali diimbangi dengan kebijakan redistribusi yang efektif.
Sebagai perbandingan, Jerman yang memiliki tarif pajak pertambahan nilai sebesar 19% menerapkan kebijakan redistribusi melalui layanan kesehatan dan pendidikan gratis, sehingga beban pajak pada masyarakat menengah ke bawah lebih terkendali.
Langkah ini menunjukkan pentingnya kebijakan pendukung untuk menjaga stabilitas sosial di tengah perubahan fiskal.
Upaya mengurangi dampak negatif kenaikan PPN, pemerintah dapat mempertimbangkan langkah-langkah diantaranya pertama, pemerintah dapat menaikkan secara bertahap sebesar 0,5% per tahun.
Langkah ini memberikan waktu adaptasi bagi konsumen dan pelaku usaha. Kedua, pemerintah perlu memperluas subsidi dan program kesejahteraan bagi kelompok menengah dan bawah untuk mengurangi tekanan inflasi.
Subsidi ini dapat diarahkan pada barang kebutuhan pokok yang terdampak kenaikan PPN. Ketiga, Fokus ekstensifikasi pajak pada sektor informal dan individu dengan kekayaan bersih tinggi, alih-alih membebani kelompok yang sudah patuh membayar pajak.
Keempat, emberikan insentif pajak, seperti penundaan pembayaran PPN atau pengurangan tarif pada barang dan jasa tertentu untuk UMKM, guna menjaga daya saing mereka di pasar.
Kelima, pemerintah harus menerbitkan laporan alokasi pendapatan dari kenaikan PPN, khususnya untuk sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Langkah ini dapat membangun kembali kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% merupakan tantangan besar bagi ekonomi Indonesia. Namun, dengan belajar dari pengalaman negara lain dan menerapkan kebijakan pendukung yang tepat, pemerintah dapat memitigasi dampak negatifnya.
Transparansi, redistribusi yang adil, serta dukungan kepada dunia usaha menjadi kunci keberhasilan kebijakan ini. Indonesia perlu mengutamakan kebijakan fiskal yang tidak hanya kuat secara teoritis tetapi juga inklusif secara sosial dan ekonomi.